Waspada : Endemi Rusak Akal Sehat di Papua Barat Mewabah

Waspada  : Endemi Rusak Akal Sehat di Papua Barat Mewabah

Gambar: Ilustrasi

Penyakit apaan itu?

Oleh : Nus B.

Enam tahun lalu dunia dihebohkan dengan Covid-19. Muncul di Wuhan, Ibu Kota Propinsi Hubei Tiongkok. Kota terbesar dan terpadat di Propinsi yang terletak di Tiongkok Tengah. Jumlah Penduduknya lebih dari 11 juta jiwa, terpadat ke-9 di negeri warisan Mantan Presiden Mao Zedong yang sekarang dipimpin penerusnya Presiden Xi Jinping. Secepat kilat mewabah ke seluruh dunia, bahkan ditetapkan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) PBB, sebagai Pandemi berbahaya dan harus serius diwaspadai dan diatasi oleh seluruh negara, termasuk kita di Indonesia. Terkenal dengan Pandemi Covid-19.

Selain kategori pandemi, ada juga penyakit endemi yang menular di wilayah tertentu dan epidemi penyakit yang menular ke beberapa negara di kawasan terbatas. Endemi, kita tahu di Papua ada Penyakit Malaria. Di luar Papua, ada Demam Berdarah. Pandemi, kita juga ingat dulu ada Ebola bermula dari Afrika, dan juga flu burung yang sempat memomoki negeri kita. 

Saat ini, bukan lagi endemi, epidemi, dan pandemi penyakit medis seperti tersebut di atas, melainkan penyakit psikis irasional. Ini sebuah penyakit yang merusak akal sehat. Kita punya hak sebut itu sebagai sebuah penyakit endemi juga. Diciptakan secara sadar oleh otak-otak cerdas yang punya pengaruh panutan, karena kapasitas tertentu. Kalau covid-19 tempo hari, katanya disebabkan oleh kelelawar di pasar burung Wuhan. Maka sekarang yang kita hadapi, karena kelebihan dosis pikir orang tertentu yang gemar membangun narasi-narasi terkesan jujur dan benar, tapi penuh ramuan kebohongan terstruktur nan rapuh, merasuk otak publik secara masif, juga nalar sehat, agar tidak mampu membedakan kejujuran dan kebenaran dalam situasi tertentu.

Situasi termaksud seperti, saat pemberantasan dan pembersihan penyakit masyarakat (pekat) antara lain, korupsi juga kejahatan lainnya. Publik pasti juga mengikuti, karena viral di media sosial, Kasus Vina di Jawa Barat. Otak publik sempat mumet dibuat oknum-oknum terkait. Sampai sekarang pun belum terdengar ujungnya. Tapi, endemi irasional rusak akal sehat, sudah tertanam di benak setiap individu. Akibat informasi simpang siur yang tidak sama satu dan lainnya. Produsennya orang-orang berpengaruh.

Kejahatan Korupsi yang hendak diberantas oleh Pemerintahan Baru dibawah Presiden ke-8 Prabowo Subianto saat, ini tidak luput dari gejala itu. Niat dan tekad tulus  demi kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia, yang sudah menggema sampai ke pelosok tanah air, dengan mengandalkan perangkat-perangkat negara kompeten, malah juga diganggu dengan prilaku oknum tak berintegritas. Gangguan itu berupa pembolakbalikan fakta dan data, untuk mengecoh otak waras publik. Ada indikasi gejala itu juga mulai muncul di Propinsi ke-32 Papua Barat.

Inilah yang saya maksudkan sebagai endemi irasional merusak akal sehat, tak sadar sedang menarget publik di Propinsi ini. Tidak secara fisik, melainkan psikis lewat nalar setiap individu. Bagi saya ini lebih berbahaya dari Covid – 19. Kalau Covid – 19, begitu serang sesosok individu, saat itu juga lenyap dari kehidupan ini. Tidak juga langsung berpengaruh kepada yang lain karena dicegah. Tapi, endemi irasional bekerja senyap dalam otak merasuki semua saraf dalam tubuh dan sekaligus merusak pola pikir rasional menjadi irasional. Tragisnya, durasi rusak otak seumur hidup. Bahkan, menyentuh moral dan mengganggu nilai etika bukan hanya satu orang melainkan bisa massal.

Disitulah bahaya latennya. Seperti penyakit kronis yang meskipun sudah diobati berulang kali, tetap saja akan kumat lagi di saat-saat tertentu. Dan itu sangat mengganggu kenyamanan dan keamanan individu bersangkutan bahkan orang sekitarnya, sehingga tidak lagi berpikir positif dan jernih menanggapi keadaan. Selalu saja menilai negatif setiap perkembangan, dan membelokkannya ke arah pengecohan sekaligus provokasi keadaan menimbulkan chaos di publik. Itu bahaya konkritnya.

Mungkin saat ini anda dan saya tidak menyadari, karena menganggapnya hal biasa. Tapi jika kita simak lebih cermat dan mendalam, tidak bisa disepelekan. Karena efeknya tidak serta merta, melainkan pelan tapi pasti merusak tatanan nilai kejujuran dan kebenaran, serta mengabaikan moral dan etika ketimuran warisan nenek moyang kita. Dengan sendirinya akan membangun dan membiasakan sebuah budaya baru yang bisa dibilang sebagai tatanan kehidupan sosial baru, bernilai biasa dan tidak mengganggu norma-norma sosial yang sudah mengakar di masyarakat. Padahal dampak negatifnya, laksana pisau bermata dua bisa menikam ke depan juga mengiris ke samping kiri dan kanan.

Kita terkenal sebagai masyarakat relijus. Agama, kepercayaan dan keyakinan apa pun anutan kita, tidak mentolerir pengabaian kejujuran dan kebenaran. Karena entitas itu mengajarkan kejujuran dan kebenaran, kasih dan persaudaraan. Sehingga haram hukumnya jika ada seseorang yang dengan sadar, dan secara sistimatis serta masif menginisiasi pengabaian kejujuran dan kebenaran, dengan membangun pembolakbalikan fakta dan data, menyebarkan informasi simpang siur, dengan maksud mengecoh publik, maka itu berarti dia sedang menciptakan wabah endemi irasional rusak akal sehat, tanpa sadari sedang menentang ajaran agama, keyakinan dan kepercayaan itu. Konsekwensinya, bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Pencipta Langit dan Bumi serta segala isinya. (***)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *