Gambar: Ilustrasi
Curahan Hati Pejabat Kecil
Tangkapan Obrolan Pinggir Jalan.
Oleh : Nus B.
Eselonisasi Struktural dalam Institusi Pemerintahan di berbagai Sektor mulai Pusat sampai ke Daerah, mengenal 5 tingkatan, yakni eselon I, II, III, IV dan V, selain non struktural jabatan fungsional. Kewenangan tiap eselon pun sesuai peraturan, telah dipertegas dengan rumusan-rumusan klausual yang mengatur ruang lingkup dan batas kewenangan secara jelas. Mulai dari tingkat tertinggi eselon I sampai dengan Eselon V terbawah. Terurai secara rinci dalam job discription (uraian jabatan/tugas). Mencerminkan peran tiap eselon yang secara diskretif dilakoni oleh subyek di posisi eselon itu.
Dilema yang sering terjadi, tidak jarang eselon terbawah menjadi korban ulah eselon atas, ketika ada kekeliruan kebijakan. Walaupun faktanya eselon bawah tidak berperan dalam mengambil kebijakan dan keputusan strategis yang melahirkan carut-marut. Nasib eselon bawah seperti lagunya Nono Koeswoyo anggota grup musik Koesplus di Layar Tancap, tahun 70-an, “Maju Kena Mundur Kena”. Fakta ini di dunia nyata jaman sekarang, tak pelak memang buram.
Laksana orang berniat menangkap ikan yang sedang berenang kesana kemari di sungai keruh. Mau disasar dengan panah atau tombak takut salah, tidak dipanah atau ditombak hilang tangkapan. Begitulah hukum alam yang tidak saja terjadi di habitet asli, melainkan juga lingkungan hidup makluk berakal budi di dunia nyata.
Banyak kasus hukum di negeri ini termasuk korupsi yang diusut pihak penegak hukum, tak jarang berakhir dengan korban orang-orang kecil yang tidak memiliki sumber daya oligarki atau finansial untuk membentengi diri mereka. Hanya bisa menerima kenyataan sadis. Jadi korban dan bisa merana di balik terali besi atau tembok-tembok tinggi, bahkan meringkuk di ruang sempit nan menyiksa keleluasaan bernafas dan bergerak. Belum lagi, jadi pekerja rodi di lingkungan rumah tahanan. Karena mereka hanyalah pion-pion kecil yang gampang didorong ke sana kemari menangkal sorotan atau serangan pihak lain, bila terjadi masalah.
Sebuah ironi yang menganiaya niat luhur untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, property tertinggi dan termahal anugerah Sang Pencipta Yang Maha Kuasa, Maha Adil dan Maha Benar. Maaf, nyerempet soal hak asasi manusia. Tapi bukan itu yang ingin saya sampaikan dalam tangkapan ini. Melainkan praktek mengkambing hitamkan pejabat terbawah karena nafsu liar atasannya, seperti dikeluhkan kaum lemah.
Dalam konteks “Dilema Pejabat Rendahan Melakoni Perintah Jabatannya”, soal inti adalah hubungan hirarkis yang sulit lepas dari kewajiban patuh kepada perintah atasan, juga perintah jabatan oleh setiap person penyandang jabatan. Sepanjang berada dalam koridor yang benar, tidak lah menjadi masalah. Tetapi jika sudah melenceng atau melewati garis merah, itu yang bermasalah. Apes dan najisnya, jika masalah itu ditimpakan kepada bawahan sebagai kesalahan mutlak tanpa teding aling-aling.
Meski biang keroknya adalah atasan. Lebih lagi jika pihak penegak hukum yang menyelidiki dan menyidik kasus atau persoalan kemasukan angin setan, sehingga mengabaikan kecermatan mengedepankan aspek kebenaran menelisik kasus dari pihak yang disidik. Maka hasil akhirnya, si lemah terpaksa menerima timpaan hukuman nyasar sesungguhnya. Apa yang bisa dibuat sang bawahan atau penyandang jabatan terendah? Kalau bukan cuma rasa sedih, dan meratapi ketidak adilan dan ketidak benaran terekayasa.
Posisi dilematis itu, dalam kiprah nyata di berbagai institusi pemerintahan kalangan PNS/ASN tidak bisa disangkal. Sebab, erat kaitannya dengan nasib karier mereka. Kepatuhan menjadi kata kunci. Kepatuhan yang dimotivisir harapan masa depan baik, secara psikhis sangat dominan. Subyektifitas tolak pikir seorang pejabat rendahan bisa tidak sadar mengantarnya ke perilaku yang bertentangan dengan nuraninya.
Itu secara iner. Dalam batas melaksanakan perintah jabatanya pada jalur yang benar, sesugguhnya tidaklah salah. Namun, jika melaksanakan perintah jabatan itu dibawah bayang-bayang momok taruhan masa depan jabatannya, rawan bumerang. Apalagi jika atasannya egoistis utamakan kepentingan kariernya tanpa mempedulikan siapapun di sekitarnya. lebih fatal.
Bobot dilema dimaksud juga bergantung pada bobot strategis tidaknya potensi seksi jabatan itu, walau yang terbawah. Sebut saja, posisi-posisi basah (istilah) samarnya, seperti sub bagian mengurus soal keuangan, atau perpajakan dan sejenisnya. Juga sub bagian yang berhubungan dengan urusan kepentingan pihak lain. Faktor integritas personal berpengaruh besar dalam menjalani misi jabatan itu.
Maksudnya, individu yang memiliki integritas tinggi tapi posisi jabatan di bawah, tak jarang berhadapan dengan keadaan bertentangan nurani paling dalam. Berpegang teguh pada prinsip beresiko tantang atasan. Mengikuti perintah atasan riskan dengan aksi balik badan bos jika ada masalah kemudian.
Faktor lainnya yang memperumit dilemma itu, jika individu pemangku jabatan terendah kukuh dengan integritas pribadinya. Akan dianggap sebagai penghalang atau penghambat terutama dalam menggolkan kepentingan pribadi atau niat-niat terselubung atasannya, beserta kelompok pro yang oportunis. Ingin memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, alias memancing di air keruh. Individu berintegritas tinggi itu bisa menjadi cemohan atau lebih ekstrim musuh bersama.
Walau dalam pergaulan sehari-hari nampak akrab dan dekat, tapi sikap sinis tak mungkin hilang, bahkan terbaur dalam kamuflase kedekatan yang penuh kepalsuan. Bisa terpelihara dalam pergaulan keseharian, adegan layaknya sinetron musuh dalam selimut, pisau bermata dua atau menikam dari belakang. (***)