ARTIKEL: MENAKAR PENERAPAN HUKUM PENGADILAN TINGGI PAPUA BARAT ATAS KASUS MOGOY-MERDEY “DENGAN NALAR AWAM HUKUM”

Ilustrasi

OLEH : NUS B.

Praktisi Pers Pendamba Keadilan di Tanah Papua.

Kasus Korupsi Peningkatan Jalan Mogoy-Merdey Kabupaten Teluk Bintuni Dinas PUPR  Propinsi Papua Barat, yang naik banding oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Bintuni ke Pengadilan Tinggi Papua Barat di Manokwari, telah menetapkan amar putusan ber Nomor : 17/PID.SUS-TPK/2025/PN/Mnk, per tanggal 2 Oktober 2025, dan dirilis kepada publik khusus keluarga per tanggal 9 Oktober 2025. Ada kontradiksi amar putusan antara Dakwaan Primair dan Dakwaan Subsidair, juga vonis Pengadilan Tingkat 1 dan Pengadilan Tinggi. Khusus yang dijatuhkan kepada terdakwa Beatrick S.A. Baransano. Kontradiksi itu tampak jelas, di Dakwaan Primair, point 1; terdakwa Beatrick S.A. Baransano, TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN, melakukan tindak pidana korupsi seperti dakwaan Penuntut Umum, sehingga oleh itu di Point 2 ; Terdakwa Beatrick S.A. Baransano, dibebaskan dari dakwaan penuntut umum. Sementara di dakwaan Subsidair, point 3 ; Terdakwa Beatrick S.A. Baransano, terbukti secara sah dan meyakinkan “BERSAMA-SAMA” melakukan tindak pidana korupsi seperti didakwakan Penuntut Umum. Maka dijatuhkan hukuman 4 Tahun penjara subsidair denda 100 juta rupiah. Berbeda jauh dengan amar putusan Pengadilan Tingkat 1 yang tidak bulat, karena ada perbedaan pendapat dari satu hakim dengan dua hakim lainnya, tapi tervonis menunjuk point 3, hanya 1 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah. Juga melebihi dakwaan Jaksa Penuntut Umum 3 tahun 6 bulan. 

Tidak bermaksud mengkonfrontir amar putusan itu, karena mengikuti perundangan-undangan yang berlaku secara khusus untuk tindak pidana korupsi. Melainkan hanya ingin menyoroti penerapan hukum yang membuahkan amar putusan melebihi tuntutan jaksa. Putusan hukuman untuk dakwaan subsidair memang adalah putusan hukuman teringan, jika hukuman terberat tidak dikenakan karena di dakwaan Primair tidak bisa dibuktikan. Meskipun Subsidair dikategorikan dakwaan ringan atau cadangan dari primair dengan hukuman ringan, tapi juga bertujuan untuk menghukum terdakwa. Sehingga mutlak dibuktikan dalil yang mengakibatkan hukuman subsidair itu dijatuhkan. Dalam point ini, tuduhan atau dakwaan yang menjadi dalil adalah “bersama-sama”.

Dalil “bersama-sama” ini, menurut nalar awam penulis, adalah TAHAP ikutan yang melekat dalam dakwaan primair, yang sudah tidak terbukti. Jika merujuk pada teori pemerian (rincian tahapan pikiran atau peristiwa sebagai satu kesatuan yang utuh), maka wajib diuji untuk menemukan bukti otentik kebenarannya. Dalam dakwaan primair, tidak ada Mens Rea atau niat jahat hati untuk melakukan tindak pidana korupsi. Samasekali tidak terbukti.

Sebodoh-bodoh atau serendah-rendahnya seseorang pun, sadar atau tidak sadar mengalami dan melakui tahapan itu. Berniat di dalam hati untuk melakukan sesuatu. Akan terbesit dalam benak menjadi gumulan serius pikiran. Terekspresi dalam prilaku secara lisan atau tindak nyata. Menggambarkannya dalam rencana. Entah tertulis atau hanya dalam memori benak. Lalu melakukannya sesuai rancangan terstruktur yang sistimatis. Dan menilai hasilnya untuk mendapatkan bukti keakuratan dan kebenaran pelaksanaan. Mengukuhkan hasilnya tidak meleset dari target yang ditetapkan.

Merujuk pada  teori pemerian tahapan ini, penulis skeptis terhadap dalil bersama-sama yang diterapkan sebagai dasar untuk menjatuhkan hukuman. Secara khusus kepada terdakwa Beatrick S.A. Baransano, satu dari 5 terdakwa. Sebab, dari 81 point bukti administratif dan teknis yang dideretkan untuk mendukung Keputusan menetapkan 4 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah, tidak ada satu pun yang spesifik tertunjuk sebagai alat bukti dan barang bukti solid mendukung fakta tentang dalil “bersama-sama itu” menyangkut Beatrick S.A. Baransano, dari niat jahat hati yang terbangun. Kecuali cenderung berdasarkan opini yang terasumsikan. Hanya pengasosiasian pikiran karena hubungan kerja struktural institusional mereka. Sementara dalam hukum, kata para ahli pun praktisi hukum, opini dan asumsi tidak bisa jadi bukti  sah.

Nalar awam penulis jadi lebih remuk, ketika benak menyimpulkan adanya pemaketan pelaku (terdakwa) dalam satu kelompok secara merata, tanpa cermat menyimak peran masing-masing terdakwa sesuai tugas pokok dan fungsi, serta ruang lingkup tanggungjawab dan kewenangannya berdasarkan perangkat hukum sah yang dimiliki seperti Surat Keputusan dari Pejabat Instansi Berwenang. Dalam konteks ini, terdakwa Beatrick S.A. Baransano, yang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi Papua Barat, Nomor : SK. 821.2-54, tanggal 08 Januari Tahun 2020, Tentang Pengangkatan Dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama, Jabatan Administrator dan Jabatan Pengawas pada Dinas PUPR Propinsi Papua Barat. Di sana jelas dan tegas ada batasan tanggung jawab dan wewenang yang menjadi rambu ruang lingkup gerak pelaksanaan tugas pokok dan fungsi. Batasan itu, memproyeksikan pengaruh dan akibat yang timbul dalam sebuah perkara seperti Kasus Korupsi Peningkatan Jalan Mogoy Merdey. Seberapa besar bobot pengaruh dan akibat yang ditimbulkan dari lingkup tanggungjawab dan wewenang yang dimiliki? Wajib dicermati agar bisa mengukur dengan pasti bobot pengaruhnya, sehingga tidak terkesan asal tetapkan, dengan tempelan bersama-sama.

Dalam dakwaan Subsidair, point utama adalah; pada tanggal 15 Desember 2023, terdakwa Beatrick S.A. Baransano, telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan atau korporasi, dalam hal ini menguntungkan tersangka Akalius Yanus Misiro, berakibat merugikan negara dan ekonomi negara sebesar lebih dari 7 milyar rupiah. Faktanya, terdakwa Beatrick S.A. Baransano tidak terbukti pernah bersama-sama dengan tersangka lainnya berkumpul dan bersekongkol untuk tujuan disebutkan. Tidak ada kebersamaan yang terjadi pada hari dan tanggal serta tahun yang dipublish itu. Jaksa Penuntut sendiri, tidak pernah menunjukkan bukti-bukti otentik selama rentetan  sidang menyangkut dakwaan itu. Begitu pula saksi-saksi yang dihadirkan dalam sidang. Seperti, menyebutkan dengan jelas dan terang benderang tempat berkumpul, siapa-siapa saja yang berkumpul, daftar hadir mereka yang berkumpul, tujuan mereka berkumpul, apa pembicaraan mereka, notulen pembicaraan. Khusus kehadiran Beatrick S.A. Baransano, sumbangsih pembicaraannya pada momen itu apa, foto atau video kehadirannya.  Tidak ada.

Dakwaan bersama-sama yang diasosiasikan itu, dalan takaran pikiran penulis merupakan kelatahan simpulan pintas, yang dikaitkan dengan hubungan kerja instansi secara hirarkhis struktural, yakni antara terdakwa Beatrick S.A. Baransano selaku Kepala Sub Bagian Keuangan/Pejabat Penatausahaan Keuangan, dan terdakwa Najamudin Bennu selaku PLT. Kepala Dinas merangkap KPA / PPK, serta terdakwa Naomi Kararbo sebagai Bendahara Pengeluaran. Tanpa cermat memilah hubungan kewenangan dan pengaruh dominan, yang mengakibatkan timbulnya perkara tindak pidana korupsi itu. Padahal diketahui, tugas pokok dan fungsi Kasub Bag Keuangan/Pejabat Penatausahaan Keuangan dan Bendahara Pengeluaran hanya berhubungan  dengan pekerjaan administratif pengurusan pencairan dana, berdasarkan perintah dari pejabat berwenang yakni PLT. Kepala Dinas merangkap Kuasa Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen dalam kasus ini. Tidak terlibat juga dalam proses awal ketika lelang proyek, penetapan pemenang, pembuatan kontrak, pengawasan dan pemeriksaan lapangan, pelaporan kemajuan fisik pekerjaan. Kecuali melaksanakan tugas memverifikasi kelengkapan dan keabsahan berkas administratif pendukung ketika permintaan pembayaran pekerjaan diajukan KPA/PPK dari Penyedia Jasa. Terlebih samasekali tidak menerima sepeserpun uang dari kasus korupsi itu, tapi didenda brutal harus membayar 100 juta rupiah. Sungguh sangat menyedihkan.

Dakwaan ikut serta atau bersama-sama jika dipukul ratakan, maka mestinya menyentuh siapapun yang telah terlibat ikut berurusan dengan obyek perkara ini sejak awal. Jika  seperti itu, maka mulai dari pelaksana tender sampai pada petugas BPKAD dan Bank yang ikut mencairkan dana proyek semua bisa ditersangkakan dan bisa didakwa. Terlebih mereka yang rekening Banknya menjadi saluran dan tempat penampungan uang hasil korupsi jalan Mogoy-Merdey, semuanya harus terseret.

Bagi penulis sebagai orang awam hukum, penerapan hukum seperti ini dipastikan mengoyak hak asasi siapapun yang mencari keadilan dan kebenaran dalam sebuah perkara seperti di Kasus Korupsi Peningkatan Jalan Mogoy-Merdey, yang mendakwakan Beatrick S.A. Baransano. Kalau sudah demikian, kemana lagi orang yang tidak terbuktikan secara akurat kesalahannya bisa mencari keadilan dan kebenaran. Padahal dengan bangga kita menyaksikan tulisan di Institusi Pengadilan sebagai tempat “MENEGAKKAN KEADILAN DEMI KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Semoga tidak saja menjadi slogan pajangan belaka dengan  membawa-bawa nama Tuhan. (***) 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *