SORONG, SorongPos – Anggota DPR RI Daerah Pemilihan Papua Barat Robert Joppy Kardinal saat ditemui media ini, kaitan dengan kebijakan Presiden RI Joko Widodo yang mengizinkan investasi bagi industri minuman keras (miras) sebagaimana tertuang dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021.
Menurutnya bahwa untuk mengurus daerah di tanah Papua, jangan bersifat kemunafikan. Dengan tegas Robert mengatakan melarang membuat pabrik, tetapi pada kenyataannya miras banyak beredar di tanah Papua.
” Apa bedanya ? Baik ilegal maupun yang resmi banyak beredar di tanah Papua. Bahkan yang bisa mengedarkan hanya orang-orang tertentu. Ini monopoli dan hanya menguntungkan beberapa pihak saja. Jadi kita ndak boleh munafik. Pabrik di tolak, tapi miras baik resmi maupun ilegal banyak beredar,” terangnya.
Disamping itu Robert mengatakan dalam tanda kutip. Jika pabrik dibangun di provinsi Papua maupun Papua Barat, berarti tenaga kerja terbuka luas, pajak dibayar ke daerah dan nilai tambahnya ada bagi daerah. Menurutnya saat ini pabrik miras berada di luar tanah Papua, tapi minuman banyak beredar di Papua.
” Menurut hemat saya, kita tidak usah munafik. Tapi kita harus berpikir jernih, saya tidak mengatakan bahwa saya mendukung investasi miras disini. Tapi miras banyak beredar di Papua. Tidak mungkin pemerintah mengijinkan investasi miras di Aceh. Karena berlaku syariat Islam. Yang jadi pertanyaan, pabrik ditolak, tapi miras masuk dan beredar semakin banyak,” urainya.
Oleh karena itu Robert mengatakan, sekarang tinggal memilih. Bangun pabrik dan tenaga kerja diserap, kemudian pajak masuk ke daerah. Dengan demikian masalah ini perlu keterbukaan, kemudian diskusi secara bersama-sama. Ketika ditanya penolakkan tersebut, dikarenakan dengan miras angka kriminalitas cukup tinggi. Kata Robert’ ” Masalah miras ini bukan cerita baru di tanah Papua ini. Sejak Pepera dan masuklah Irian Barat ke Indonesia. Disini miras sudah ada, kemudian pada tahun 1970 tempat hiburan malam sudah ada semua disini,” tegasnya.
Menurut Robert solusi terbaik adalah duduk bersama, dikarenakan dalam UU Otsus berbicara lebih banyak tentang keberpihakan kepada orang asli Papua
.Akan tetapi tidak menyebutkan bangun pabrik miras dan sebagainya.Diakuinya akibat dari miras banyak merusak generasi papua dan bukan asli Papua saja. Perlu diketahui miras itu dimana-mana sudah pasti merusak bukan di tanah Papua saja.
” Miras itu segala macam penyakit disitu. Minum pulang mabuk pukul istri dan sebagainya. Kemudian orang tuanya minum, uang habis anak tidak bisa sekolah. Tapi masalah ini kerap terjadi dari tahun 1970 silam sampai sekarang. Harus mau atau tidak, jangan setengah-setengah. Pabrik dan inventasi ditolak, tapi miras semakin banyak beredar,” urainya.
Lebih jauh Robert mengatakan soal inventasi miras di tanah Papua. Dimana pemerintah pusat tidak mengeluarkan kebijakan, jika tidak memiliki data yang akurat mulai dari Kementrian Perekonomian sampai Perinsutrian sudah memiliki data.” Berapa miras contoh bir berapa kontainer yang masuk di tanah Papua, belum miras yang lain. Kalau pemerintah memiliki data, berarti ada satu pasar atau market besar di tanah Papua. Karena ada pembelinya. Jadi bukan karena pabrik mirasnya yang mau dibangun. Kita harus menyadarkan masyarakat dengan sosialisasi terus menerus, untuk tidak mengkonsumsi miras,” terangnya.
Bahkan dengan tegas Robert mengulang lagi, bahwa yang mengkonsumi mraa bukan hanya orang asli Papua, tetapi pendatang juga.
” Jadi harus duduk, diskusi palang lebar. Cari sisi positif dan negatif. Pemerintah pusat hanya mengeluarkan kebijakan. Tapi kalau bangun dan tidaknya pabrik miras, khan tidak apa-apa dan bukan satu keharusan. Karena UU tidak mengatakan seperti itu,” imbuhnya.
Ditambahkan juga bahwa hanya beberapa daerah di Indonesia yang dibuatkan cluster, untuk menginvestasi miras termasuk di Papua. Sebagai contoh provinsi NTT mendukung inventasi dan bangun pabrik miras didaerahnya. Dikarenakan sebelumnya banyak pabrik lokal yang membuat miras lokal, itu ilegal semua. Bahkan Robert mengatakan, ijin pendirian pabrik sangatlah sulit.
” Misalkan sopi atau cap tikus itu. Sekarang sudah legal semua, kalau legal masalah kesehatan dan sebagainya terpenuhi. Kawan saya Gubernur dan Wagub NTT saya tanya, mereka malah mendukung. Karena ada nilai tambahnya kepada daerah dan bisa dijual keluar sampai ekspor,” pungkasnya. (boy)